Rabu, 26 September 2007

1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup :

Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada paksaan siapa pun– untuk meny­umbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau ginjal.

Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang –yang tangannya terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain– untuk mengambil diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau mencongkel matanya.

Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata, hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu.

Adanya hak milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan menyumbang­kan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberi­kan maaf dalam masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudara­nya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.” (QS. Al Baqarah : 178)

Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup

Syarat bagi kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah bahwa organ yang disum­bangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan kelang­sungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru. Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri. Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)

Allah SWT berfirman pula :

“…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151)

Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu (alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang terse­but dengan alat/sarana tersebut dalam neraka Jahannam.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.”

Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan meny­umbangkan dua testis (zakar), meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menye­babkan kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata :

“Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada isteri-isteri. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan pengebirian ?’ Maka beliau melarang kami untuk melakukannya.”

Hukum ini dapat diterapkan juga untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun hal ini tidak akan membuat penyum­bangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel kelamin yang terdapat dalam organ-organ reproduktif –yaitu testis pada laki-laki dan indung telur pada perempuan– merupakan sub­stansi yang dapat menghasilkan anak, sebab kelahiran manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat sel-sel penghasil sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan –yakni pabrik penghasil sel sperma dari sel-selnya– baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang menerima transplantasi testis dari orang lain.

Atas dasar itu, maka kromosom anak-anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang penyum­bang testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi sedi­kitpun sifat-sifat penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang testislah yang secara biologis menjadi bapak mereka. Maka dari itu, tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab, menyumbangkan dua buah testis akan menyebabkan kemandulan pihak penyumbang. Di samping itu, menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam telah mengharamkan hal ini dan sebaliknya telah memerintahkan pemeliharaan nasab. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.”

Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,’Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW :

“Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.”

Demikian pula Islam telah melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya nasab yang bukan dari kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari anaknya sendiri. Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda tatkala turun ayat li’an :

“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).”

2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal :

Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum keadaan darurat.

Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal, kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun. Sebab dengan sekedar mening­galnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuh­nya, ataupun isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiat­kan penyumbangan organ tubuhnya.

Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemili­kannya sejak dia meninggal, hal ini karena Asy Syari’ (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk mewasiatkan seba­gian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak men­cakup pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya.

Mengenai hak ahli waris, maka Allah SWT telah mewaris­kan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si mayit, karena mereka tidak memi­liki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda terse­but. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris, maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau seorang penguasa tidak berhak memanfaat­kan salah satu organ tubuh seseorang yang sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan­nya. Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terha­dapnya, maka Allah SWT telah menetapkan bahwa mayat mempun­yai kehormatan yang wajib dipelihara sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran terha­dap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehor­matan orang hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka beliau lalu bersabda :

“Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !”

Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

“Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan !”

Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membe­dah perutnya, atau memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat. Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau melukainya, maka demikian pula segala perbua­tan ini haram dilakukan terhadap mayat.

Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecah­kan tulangnya, memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya sebagaimana denda pada penga­niayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat. Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang (mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh).”

Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam An Nasai meriway­atkan dari Shafwan bin ‘Asaal RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengutus kami dalam sebuah sariyah (divisi pasukan yang diutus Rasulullah), lalu beliau bersabda :

“Majulah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Maka perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, dan jan­ganlah kalian mencincang (mayat musuh), melakukan pengkhia­natan, dan membunuh anak-anak !”

Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan mayat serta merupakan penga­niayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh syara’.

Keadaan Darurat

Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah memboleh­kan seseorang yang terpaksa –yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini dibolehkan mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan dipindahkan kepadanya ? Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah memboleh­kan orang yang terpaksa –yang telah kehabisan bekal maka­nan, dan kehidupannya terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah –seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain– hingga dia dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfir­man :

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam kea­daaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atas­nya.” (QS. Al Baqarah : 173)

Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)

Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat terse­but diterapkan –dengan jalan Qiyas– pada fakta transplan­tasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya ? Jawabannya memerlukan pertimbangan, sebab syarat pener­apan hukum Qiyas dalam masalah ini ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai sasa­ran Qiyas –yaitu transplantasi organ– harus juga sama-sama terdapat pada masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas –yaitu keadaan darurat bagi orang yang kehabisan bekal makanan– baik pada ‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya. Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerap­kan hukum masalah pokok pada masalah cabang, dengan peranta­raan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok –dalam sifat keumumannya atau kekhususannya– maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat pada masalah cabang. Ini be­rarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada masa­lah cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya. Mengenai organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok –yaitu menyelamatkan kehidupan– tidak terwujud pada masalah cabang (transplanta­si). Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi. Atas dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal (untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat), tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan hara­pan penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :Pertama, ‘Illat yang terdapat pada masalah cabang (trans­plantasi) –yaitu menyelamatkan dan mempertahankan kehidu­pan– tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang pene­rima organ. Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat yang bertentangan dengannya (ta’arudl raa­jih), yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang –yakni transplantasi organ– telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash yang lebih kuat ini, bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu kebolehan melakukan transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan –seperti jantung, hati, dua ginjal, dua paru-paru– dari orang yang sudah mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam) –baik dia seorang muslim, ataupun seorang dzimmi*, seorang mu’ahid**, dan seorang musta’min*** — kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan ditransplantasikan kepadanya.

——-*dzimmi adalah orang kafir warga negara Khilafah Islamiyah.**mu’ahid adalah seseorang warga negara tertentu yang mem­punyai perjanjian dengan Khilafah.***musta’min adalah orang yang mendapat jaminan keamanan dari Khilafah.

Jawaban dikutip dari :

Abdul Qadim Zallum

Hukmu Asy Syar’i fi Al Istinsakh, Naqlul A’dlaa’, Al Ijhadl, Athfaalul Anabib, Ajhizatul In’asy Ath Thibbiyah, Al Hayah wal Maut

Penerbit : Darul Ummah, Beirut, Libanon, Cetakan I, 1418/1997, 48 hal.
Penerjemah : Sigit Purnawan Jati, S.Si.

Penyunting : Muhammad Shiddiq Al Jawi

Selasa, 14 Agustus 2007

Paling Jelek & Paling Kecil untuk Didonorkan


Kendala transplantasi ginjal di Indonesia masih tinggi. Tidak hanya biaya, namun juga ketersediaan donor. Padahal, tranplantasi adalah pilihan terbaik untuk penderita gagal ginjal
Penyakit ginjal kronik yang sudah masuk stadium 5 dengan gejala dan tanda uremia memerlukan terapi pengganti ginjal, seperti dialisis atau transplantasi. Dialisis terdiri dari hemodialisis dan dialisis peritoneal. Dialisis peritoneal dilakukan dengan menggunakan peritoneum sebagai membran semipermeabel. Darah yang mengalir pada pembuluh di peritoneum dialirkan dengan cairan dialisat di kavum Douglasi dan diharapkan akan terjadi ultrafiltrasi.
Sedangkan hemodialisis secara langsung mengalirkan darah pembuluh ke dalam mesin untuk disaring dengan membrane dan cairan dialisat.
Dialisis peritoneal merupakan teknik yang masih dipakai di beberapa rumah sakit karena tidak membutuhkan peralatan canggih seperti hemodialisis, dengan biaya yang relatif murah. Namun, tidak semua kasus dapat diatasi dengan dialisis peritoneal. Terapi ini terutama digunakan untuk gagal ginjal akut, pediatrik, geriatrik, atau pasien gawat darurat. Untuk kebanyakan kasus gagal ginjal, hemodialisis lebih optimal untuk dilakukan.
Dijelaskan Prof. DR. Dr. Endang Susalit SpPD-KGH, Kepala Divisi Ginjal Hipertensi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, meski transplantasi ginjal adalah yang paling ideal, namun bukan berarti dapat dipastikan pasien langsung sembuh setelah mengalami prosedur cangkok. "Tetap diperlukan kontrol teratur dari pasien," ujar Endang. Tapi, transplantasi ginjal lebih unggul baik dari segi prosedur, kualitas hidup, ketergantungan pada fasilitas medik, dan biaya. "Pasien dengan cangkok ginjal tidak merasa lagi sakit ginjal dan dapat hidup dengan normal," ujarnya.
Transplantation The Best
Di Indonesia, transplantasi ginjal pertama kali dilakukan di RSCM tanggal 11 November 1977, yang dipimpin oleh Prof. Otta dari Tokyo dengan ginjal donor berasal dari adik pasien. DR. Dr. David Manuputty, SpB, SpU(K) mengungkapkan Prof. Otta membantu cangkok ginjal pada 2 pasien pertama di RSCM. Operasi ketiga baru dilakukan seluruhnya oleh anak bangsa. Pasien ketiga yang menerima transplantasi ginjal adalah seorang dokter yang bernama Anom pada tahun 1978. Hingga saat ini Dr. Anom masih hidup dan merupakan pasien terlama yang mengalami cangkok ginjal. "Saat menjalani operasi itu, dokter Anom baru saja lulus kuliah kedokteran," kata David. Hal ini membuktikan bahwa transplantasi ginjal merupakan terapi yang terbaik yang bisa dilakukan untuk mengatasi gagal ginjal.
Untuk pendonor, tidak ada yang perlu dikhawatirkan hidup dengan satu ginjal. "Tidak ada yang perlu ditakutkan dengan menjadi donor karena setiap orang bisa tetap hidup normal dengan satu ginjal," kata David. "Bahkan anggota TNI pun bisa tetap melakukan aktivitas seperti biasa setelah memberikan ginjalnya." Pendonor pada operasi transplantasi pertama di Indonesia tahun 1977, Luciana Tjiusnoyo, hingga saat ini masih tampak sehat dan hidup normal dengan satu ginjal. Saat itu Luci memberikan ginjalnya pada kakaknya, Fredy Tjiusnoyo. Tidak salah jika David selalu menekankan tidak ada kerugian dengan mendonorkan ginjal. Pasalnya, sejak tahun 1977 baru 500 cangkok ginjal yang telah dilakukan. Padahal, ada 70 ribu pasien gagal ginjal di Indonesia yang dapat diterapi dengan cangkok ginjal. Keterbatasan donor menjadi salah satu penyebab transplantasi sulit dilakukan. Jumlah donor di Indonesia masih sangat kecil, hanya 15 donor ginjal per tahunnya, dibandingkan dengan 2.000 kasus baru penyakit ginjal kronik tahap akhir per tahunnya.
Data di atas menggambarkan kondisi yang sama dengan apa yang dipaparkan dalam The Triennial Conference of The Asian Society of Transplantion (CAST) tahun 2005, bahwa dari kebutuhan 73 ribu ginjal di Negara berkembang hanya terpenuhi 36 persen. Sedangkan kebutuhan Negara dunia ketiga akan 350 ribu ginjal hanya terpenuhi sbanyak 1,6 persen.
The Burden of Cost
Kendala lain untuk melakukan transplantasi ginjal adalah dari sisi biaya. Cukup banyak pasien yang tidak memiliki biaya transplantasi, meski sudah ada keluarga yang mau menjadi donor.
Namun menurut Dr. Indrawati Sukadis, Koordinator Tim Transplantasi Ginjal RS Cikini, biaya transplantasi ginjal di dalam negeri lebih rendah dibandingkan di luar negeri. "Subsidi biaya operasi transplantasi dan sebagian obat imunosupresif dari ASKES meringankan beban biaya transplantasi," ujarnya. Indrawati mendapatkan kesimpulan tersebut dari penelitian yang dilakukan bersama koleganya dengan mewawancarai 20 pasien pasca transplantasi ginjal antara tahun 1996 hingga 2006. Sebanyak 15 pasien menjalani transplantasi di dalam negeri (10 orang di RS Cikini dan 5 pasien dari rumah sakit lainnya), dan 5 pasien menjalani transolantasi di luar negeri yaitu China dan Singapore. Data yang dicatat adalah total biaya transplantasi ginjal termasuk biaya persiapan, perawatan preoperative, operative, dan pasca operative, lama perawatan, dan summer donor. Namun tidak termasuk obat imunosupresif, obat induksi, obat kegawatan, dan HD bila diperlukan.
Persiapan transplantasi ginjal di RS dalam negeri berkisar dari Rp 28,5 hingga Rp 35 juta. Total biaya transplantasi di dalam negeri adalah Rp 80 hingga Rp 250 juta. Padahal untuk biaya total transplantasi di luar negeri akan menghabiskan biaya sebesar US$ 11 – 62 ribu atau sekitar Rp 100 hingga Rp 570 juta
Klasik dan Modifikasi
Pusat transplantasi ginjal di Indonesia tersebar di 11 tempat diantaranya RS Cikini tercatat telah melakukan transplantasi sebanyak 277 kali, RSCM 35 kali, RS Kariadi 48 kali, RS Gatot Subroto 49 kali, RS Sutomo 31 kali, RS Sardjito 32 kali, RS Pringhadi 2 kali.
David mengatakan, sebelum operasi harus dilakukan beberapa persiapan, yaitu evaluasi medik, etik, dan legal yang dilakukan oleh nefrologi. Selanjutnya menentukan sisi ginjal donor, dan dipilih fosa iliaka kanan resipien, kecuali terdapat kelainan pada sisi kanan. "Ginjal yang diambil untuk didonorkan adalah ginjal yang paling jelek dan paling kecil," ujar David. Pencitraan donor dilakukan dengan BNO-IVP, aortografi, arteriografi selektif, dan CT-angiografi. "CT-Angiography 3 dimensi dengan dan tanpa kontras memberikan hasil yang memuaskan dalam identifikasi batu, gambaran anatomi ginjal-collecting system dan vaskularisasi. Prosedur ini mempunyai morbiditas minimal," kata David.
Setelah ginjal diambil, harus segera dilakukan 'penanaman' pada resipien. "Bahkan dengan suhu ruang yang sudah diturunkan menjadi 4°C, metabolisme ginjal masih sepuluh persen," ujar David.
Teknik transplantasi ginjal di Indonesia awalnya dilakukan dengan menggunakan teknik klasik. "Kira-kira pada 20 kasus pertama," ujar David. Pada teknik itu, ginjal kanan disambungkan dengan iliaka kiri dan ginjal kiri dengan iliaka kanan. Anastomosis arteri terlebih dahulu. Sedangkan arteri renalis disambungkan end to end ke arteri iliaka interna dan vena renalis disambungkan end to side ke vena iliaka eksterna. "Pada teknik klasik ini harsu membongkar lebih banyak dan bukaan yang terlalu luas timbul. Efeknya, komplikasi seperti perdarahan bisa timbul," kata David.
Teknik yang banyak digunakan sekarang adalah teknik modifikasi. Ginjal kiri atau kanan disambungkan ke iliaka kanan. "Alasannya, karena pembuluh darah lebih superficial, lebih ke permukaan," kata David. Pada teknik modifikasi dilakukan vena dianastomosis lebih dahulu. Vena renalis disambungkan end to side ke vena iliaka eksterna dan arteri renalis disambungkan end to side ke arteri iliaka eksterna. Maka, teknik modifikasi lebih baik daripada teknik klasik karena waktu pengerjaan lebih singkat. "Jika operasi dimulai pukul 08.00 maka pukul 11.30 sudah selesai," kata David. Dengan teknik modifikasi akan lebih sedikit komplikasi yang terjadi, terutama hematoma.
Hematoma merupakan komplikasi yang sering terjadi. David mengatakan dari 305 operasi cangkok ginjal, hematoma terjadi pada 11 kasus atau sebesar 3,6 persen. Di urutan kedua adalah stenosis ureter sebanyak 6 kasus atau 1,5 persen. Nekrosis ureter distal sebanyak 4 kasus atau 1,2 persen, emboli paru dan stenosis arteri renalis masing-masing sebanyak 1 kasus atau 0,3 persen.
Donor Keluarga, Lebih Berhasil
Risiko pasti akan ada dalam setiap tindakan transplantasi. Dengan ditanamkan organ baru, maka akan dianggap benda asing oleh tubuh. Sistem imun membuat antibody mencoba membunuh organ baru, meski menguntungkan tubuh. Medikasi diberikan agar system imun menerima hasil tranplan dan bukan menganggapnya benda asing. Obat yang diberikan antara lain cyclosporine, tacrolimus, azathioprine, mycophenolate mofetil, prednisone, OKT3, dan antithymocyte Ig (ATGAM).
Dr. Indrawati Sukadis, mengatakan, tingkat keberhasilan operasi ginjal lebih tinggi bila donor berasal dari seseorang yang memiliki pertalian darah (related donor). "Keberhasilan mencapai 90 persen," ujarnya.
Menurut catatan David, 233 kasus transplantasi berasal dari donor hidup related dan 44 non-related. Dari kasus non related itu, sebanyak 6 kasus adalah donor ginjal yang berasal dari istri kepada suaminya. Sedangkan tidak ada kasus dengan donor yang berasal dari cadaver.